APAKAH ANDA MENCINTAI ALLAH ? (Karomah dan Istidroj)

on
وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ (182) وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ
Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui - Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh. (QS.al-A’raaf/182-183)


فَذَرْنِي وَمَنْ يُكَذِّبُ بِهَذَا الْحَدِيثِ سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ (44) وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ
Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al Qur'an). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui - Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh (QS.al-Qalam/44)



Lawan kata “al-Walayah” adalah “al-‘Adawah” artinya permusuhan. Apabila al-Walayah berarti tanda kasih, maka al-‘Adawah adalah tanda benci. Jadi, apabila “karomah” merupakan tanda-tanda al-Walayah maka “istidroj” adalah tanda-tanda al-‘Adawah.

Sudah dimaklumi bahwa kehidupan dunia bagi orang beriman merupakan perniagaan untuk hari akherat, maka seluruh pemilikan manusia, apa saja bentuknya, baik harta benda, kekuasaan, ilmu dan amal, apabila itu menghantarkan manusia menuju kehancuran di akherat, berarti bukan karomah tetapi istidroj.

Sebagai bentuk tarbiyah Allah kepada para kekasih-Nya, supaya dengan apa yang sudah dimiliki tersebut seorang hamba yang sholeh teruji dan menjadi kuat lahir-batin, menjadi pemimpin yang mampu mentarbiyah pengikutnya, maka dia harus mempunyai lawan tanding yang seimbang. Oleh karena itu, musuh-musuh Allah juga harus mendapatkan kekuatan agar mereka dapat menandingi kekuatan para Auliya tersebut. Untuk tujuan itulah istidroj diturunkan di dunia.

Oleh karena itu bentuk istidroj terkadang mirip karomah. Yakni berupa kelebihan hidup (keistimewaan) yang melebihi ukuran umum. Terhadap kelebihan tersebut sering kali para awam sulit membedakan, mana yang karomah mana yang istidroj, kecuali para ahlinya. Sebagai contoh, tidak semua kenikmatan duniawi pasti membawa kemanfaatan, terlebih bila salah dalam penggunaan. Orang yang mendapatkan kemudahan hidup, apabila menjadikan sebab kehancuran bagi dirinya sendiri, maka itu bukan tanda kasih sayang tetapi tanda permusuhan.

Oleh karena dunia merupakan perladangan akherat dan masa ujian bagi orang beriman, maka kelebihan-kelebihan yang diturunkan Allah kepada hamba-Nya di dunia tidak selalu karomah. Boleh jadi istidroj sebagai kemanjaan sementara yang kemudian akan ditarik lagi secara berangsur-angsur, itu manakala dampak kelebihan yang dimiliki tersebut menerbitkan dorongan hawa nafsu menuju jalan kehancuran. Menjadikan manusia sombong dan merasa benar sendiri sehingga tidak mau menerima kebaikan yang datang dari luar, terlebih datang dari orang-orang yang dibenci. Seperti gelas penuh, apapun yang dituangkan ke dalamnya akan terbuang percuma. Sifat yang demikian itu merupakan ciri paling nyata adanya istidroj.

Dengan "linuwih" tersebut, baik ilmu pengetahuan maupun kemampuan, jika menjadikan sombong dan merasa benar sendiri, meski seandainya telah memiliki kemampuan seperti yang dimiliki para waliyullah, bisa terbang di udara misalnya, yang demikian itu pasti bukan karomah tapi istidroj. Hal itu disebabkan, karena bukan kelebihan itu yang penting, akan tetapi bagaimana hasil akhir dari apa yang sudah diperbuat manusia dengan kelebihan itu. Apabila hasil akhirnya menjadikan manusia semakin bertakwa kepada Allah dan rasul-Nya berarti kelebihan itu karomah, dan apabila menjadikan manusia semakin ingkar dan jauh dari Tuhannya, bahkan cenderung mempertuhankan kelebihannya itu untuk berbuat sombong dan bangga-banggaan, meski kelebihan itu telah banyak memberi kemanfaatan kepada orang lain, kelebihan itu bukan karomah tetapi istidroj.

Seperti lilin meski dapat menerangi orang lain, akan tetapi menghancurkan diri sendiri. Demikian itulah istidroj, sehingga para awam yang belum dapat membedakan antara karomah dan istidroj, terkadang memang mendapat kemanfaatan dari istidroj itu, akan tetapi ketika minyak yang menyalakan api lilin itu habis, orang yang memanfaatkan cahayanya pun menjadi kegelapan kembali.

Kalau istidroj selalu identik dengan kemanjaan, maka karomah tidaklah demikian, bahkan awal datangnya karomah seringkali terbit dari penderitaan. Betapapun kematian misalnya, meski penyebabnya penderitaan panjang, apabila menjadikan sebab orang mendapatkan ampunan serta kebahagian di akherat, maka boleh jadi itu adalah walayah yang diturunkan di dunia. Akan tetapi sebaliknya, meski berupa kebahagiaan panjang, apabila menjadi penyebab penderitaan di akherat berarti itu pertanda istidroj baginya.

Oleh karena itu, terkadang walayah diturunkan dalam bentuk penderitaan, sakit yang berkepanjangan, namun itu supaya menjadi kafarat (peleburan dosa) bagi hamba-Nya, atau supaya seorang hamba kembali kepada Tuhannya dalam keadaan bersih dan suci dari segala dosa-dosa, karena sebelum matinya, dosa-dosa tersebut memang terlebih dahulu harus dikafarati.

Hanya dengan matahati yang cemerlang orang yang ma’rifat dapat mengenali apa-apa yang terjadi dengan dirinya, bahkan merasakan nikmat terhadap penderitaan-penderitaan yang diderita. Seperti orang yang sedang berpuasa, walau seharian merasakan sakitnya lapar dan haus, oleh karena matahatinya telah melihat pahala yang dijanjikan, maka orang beriman merasa nikmat dengan puasanya itu, bahkan sebagian mereka merasa sedih dan menangis saat bulan Ramadhan meninggalkannya.

Setiap orang bergantung bagaimana hatinya menyikapi kebahagian dan penderitaan yang dihadapi. Manakala seorang hamba dapat menyikapi kebahagiaan hidupnya dengan sikap yang benar, maka yang demikian itu disebut surga dunia, yaitu kenikmatan hidup bagi orang yang berma’rifat yang disebut “jannatul ma’rifat” atau surga ma’rifat, adalah kenikmatan duniawi yang lebih nikmat dari pada kenikmatan surgawi. Bahkan sebagian mereka berkata, seandainya kenikmatan surga di datangkan di dunia, “Jannatul ma’rifat” ini jauh lebih nikmat darinya.

Jadi, orang yang suka mengobral kelebihan pribadi dengan menunjukkan rasa sombong dan bangga-banggaan, apapun bentuknya, walau dapat menundukkan raja jin dan memindahkan hujan misalnya, maka dapat dipastikan bahwa kelebihan itu hanyalah istidroj belaka.

Ketika nur melebur di dalam Nur
Yang lemah menyatu dengan yang Kuat
Maka yang lemah menjadi Kuat
Yang hadits menjadi Qodim

Ketika yang Qodim melebur
di dalam yang hadits
Maka jadilah ……
Satu di dalam niat, Satu di dalam perbuatan
dan satu di dalam pemilikan
Selanjutnya Satu dalam perwujudan
Memang tidak ada yang lain Selain Yang Satu

Itulah rahasia walayah
Ketika menyatu dalam diri hamba
Mata secara lahir mengira seorang hamba telah berkarya
Padahal takdir-Nya sedang berbicara
Sehingga yang hina menjadi mulia

0 komentar:

Posting Komentar